Saturday, February 20, 2016

surat terakhir untuk yang disana

Halo! Lama sekali kita tidak bertemu, pun mengucap salam, atau sekedar berpapasan. Sepertinya memang jalan kita tidak bersinggungan. Tidak ada kabar terdengar, apa kau baik-baik saja, atau banyak masalah menghampirimu, aku tak tahu. Sudah lama aku menahan diri untuk menulis hal-hal tentangmu, dan aku berhasil. Hari ini, malam ini, adalah yang paling terakhir keluar dari jemari tanganku.
Aku sangat ingin bercerita pada mereka, mengulang kita, dari awal hingga bagaimanapun akhirnya.

Ʌ
Dari awal aku memang mengincarmu, entah kenapa aku tertarik padamu. Dan, kesalahanku adalah terburu-buru ‘memaksa’-mu supaya bersamaku. Aku masih sangat bodoh saat itu. Seiring berjalannya waktu, aku meyakinkan bahwa ‘kita’ bisa, ‘kita’ pasti berhasil. Dulu aku sangatlah naif, karena aku tidak melihat, saat kau bisa berpaling pada sahabatku sendiri, teman yang memintamu untuk bersamaku. I was all broken at that time.
Aku menurutimu, apapun maumu, kau memintaku agar ‘kita’ tak seorangpun yang tahu. Dan bodohnya aku buta hingga tak bisa melihatmu berpaling lagi dengan yang lain. How stupid was that. Aku kecewa, aku marah, aku sedih, aku ingin kau melihat apa yang sebenarnya kau lakukan; membunuhku perlahan.
Aku menaruh semua harapanku padamu. Kamu pergi. Harapanku hilang.. luka-lukaku menganga lebar-lebar, berontak. Aku dulu beranggapan bahwa aku tak pernah cukup. Aku menyalahkan semua diriku dan merasa bahwa aku memang pantas disalahkan.
Membuatku berantakan. Menghancurkan. Melukai. Ntah apa namanya lagi, semuanya masih betah melekat di badan. Di hati. Di penjuru ruangan. Di sudut kamar. Semua masih ada. Dia betah mengekalkan penyesalan diatas dosa.
Kita—bagaimanapun disebut, selalu ada kemudian hilang, datang lalu pergi lagi. Pergi kemudian kembali. Selalu karena kebodohanku.

Tapi suatu hari, di bulan Oktober.
Luka menjamur bersarang di kepalaku, saat ratusan tajam menusuk kepalaku. Ingin pecah rasanya. Semua berbalik kepadaku. Aku paham dan mengerti lebih dari apapun karena memang ini tak bisa lagi. Semua harus berakhir.
Aku berusaha mengakhiri. Tapi kau masih meminta untuk bertahan.
Dan akhirnya aku bertahan. Sekian hari. Hingga kau yang memutuskan untuk pergi.
Dan aku berpikir, ternyata memang hidup semengejutkan ini.
Kau akhirnya menyerah, setelah selama ini aku tidak menyerah merengkuhmu.
Memang bodoh, sungguh bodoh, aku tak pernah menyadarinya. Kita tak bisa.
Maafkan aku dengan kebodohanku ini.
Ʌ

Oke, aku sudah meringkasnya dengan sesingkat-singkatnya, mewakili apa yang belum pernah kukeluarkan.

Untuk si 9 November, dimanapun kamu berada.

Menyakitkan karena saat ini aku tidak mengetahui bagaimana kabarmu, betapa lucunya karena dulu hidup kita terjalin begitu erat dan sekarang tali itu tak terikat lagi. Jangan menganggap aku saat ini baik-baik saja dan mudah pergi darimu. Tidak, semua tidak semudah itu. Berapa malam sudah aku habiskan menangis sendirian tanpa ada orang yang tahu hatiku sudah mengering karena sepi.
Oke, aku tak memintamu melakukan apa-apa, aku hanya ingin menulis ini terakhir untukmu.
Sekarang, aku akan membuang surat atau foto apapun denganmu didalamnya. Bukan berarti apapun yang kita miliki dulu tak pernah berharga, tapi cukup hanya aku dan memoriku yang tahu persis bagaimana pentingnya itu. Aku hendak membuang semua kelabu di kamarku.
Baiklah, berbahagialah dengan hidup yang sudah kamu pilih karena semua hanya terjadi satu kali dan belum tentu akan terulang lagi. Buang aku jauh-jauh dari pandangan dan hatimu walaupun itu sulit tapi percayalah, aku juga mengalaminya. Bersenang-senanglah.


Cheers! X