Halo! Lama sekali kita tidak
bertemu, pun mengucap salam, atau sekedar berpapasan. Sepertinya memang jalan
kita tidak bersinggungan. Tidak ada kabar terdengar, apa kau baik-baik saja,
atau banyak masalah menghampirimu, aku tak tahu. Sudah lama aku menahan diri
untuk menulis hal-hal tentangmu, dan aku berhasil. Hari ini, malam ini, adalah
yang paling terakhir keluar dari jemari tanganku.
Aku sangat ingin bercerita
pada mereka, mengulang kita, dari awal hingga bagaimanapun akhirnya.
Ʌ
Dari
awal aku memang mengincarmu, entah kenapa aku tertarik padamu. Dan, kesalahanku
adalah terburu-buru ‘memaksa’-mu supaya bersamaku. Aku masih sangat bodoh saat
itu. Seiring berjalannya waktu, aku meyakinkan bahwa ‘kita’ bisa, ‘kita’ pasti
berhasil. Dulu aku sangatlah naif, karena aku tidak melihat, saat kau bisa
berpaling pada sahabatku sendiri, teman yang memintamu untuk bersamaku. I was
all broken at that time.
Aku
menurutimu, apapun maumu, kau memintaku agar ‘kita’ tak seorangpun yang tahu.
Dan bodohnya aku buta hingga tak bisa melihatmu berpaling lagi dengan yang
lain. How stupid was that. Aku kecewa, aku marah, aku sedih, aku ingin kau
melihat apa yang sebenarnya kau lakukan; membunuhku perlahan.
Aku
menaruh semua harapanku padamu. Kamu pergi. Harapanku hilang.. luka-lukaku
menganga lebar-lebar, berontak. Aku dulu beranggapan bahwa aku tak pernah
cukup. Aku menyalahkan semua diriku dan merasa bahwa aku memang pantas
disalahkan.
Membuatku
berantakan. Menghancurkan. Melukai. Ntah apa namanya lagi, semuanya masih betah
melekat di badan. Di hati. Di penjuru ruangan. Di sudut kamar. Semua masih ada.
Dia betah mengekalkan penyesalan diatas dosa.
Kita—bagaimanapun
disebut, selalu ada kemudian hilang, datang lalu pergi lagi. Pergi kemudian
kembali. Selalu karena kebodohanku.
Tapi suatu hari, di bulan Oktober.
Luka
menjamur bersarang di kepalaku, saat ratusan tajam menusuk kepalaku. Ingin
pecah rasanya. Semua berbalik kepadaku. Aku paham dan mengerti lebih dari apapun
karena memang ini tak bisa lagi. Semua harus berakhir.
Aku
berusaha mengakhiri. Tapi kau masih meminta untuk bertahan.
Dan
akhirnya aku bertahan. Sekian hari. Hingga kau yang memutuskan untuk pergi.
Dan
aku berpikir, ternyata memang hidup semengejutkan ini.
Kau
akhirnya menyerah, setelah selama ini aku tidak menyerah merengkuhmu.
Memang
bodoh, sungguh bodoh, aku tak pernah menyadarinya. Kita tak bisa.
Maafkan
aku dengan kebodohanku ini.
Ʌ
Oke,
aku sudah meringkasnya dengan sesingkat-singkatnya, mewakili apa yang belum
pernah kukeluarkan.
Untuk
si 9 November, dimanapun kamu berada.
Menyakitkan
karena saat ini aku tidak mengetahui bagaimana kabarmu, betapa lucunya karena
dulu hidup kita terjalin begitu erat dan sekarang tali itu tak terikat lagi. Jangan
menganggap aku saat ini baik-baik saja dan mudah pergi darimu. Tidak, semua
tidak semudah itu. Berapa malam sudah aku habiskan menangis sendirian tanpa ada
orang yang tahu hatiku sudah mengering karena sepi.
Oke,
aku tak memintamu melakukan apa-apa, aku hanya ingin menulis ini terakhir
untukmu.
Sekarang,
aku akan membuang surat atau foto apapun denganmu didalamnya. Bukan berarti
apapun yang kita miliki dulu tak pernah berharga, tapi cukup hanya aku dan
memoriku yang tahu persis bagaimana pentingnya itu. Aku hendak membuang semua
kelabu di kamarku.
Baiklah,
berbahagialah dengan hidup yang sudah kamu pilih karena semua hanya terjadi
satu kali dan belum tentu akan terulang lagi. Buang aku jauh-jauh dari
pandangan dan hatimu walaupun itu sulit tapi percayalah, aku juga mengalaminya.
Bersenang-senanglah.
Cheers!
X