Wednesday, October 12, 2016

teruntuk:

entah seberapa kali aku bosan mengatakannya.
aku sungguh rindu.. benar, rindu.
walaupun kau tak jauh namun jaraknya pun terkadang tak bisa aku lawan.
harusnya aku mungkin menyadari diriku yang memang bukan apa.. harusnya
biar saja aku pendam, tak usah aku ucapkan
harusnya aku tidak luluh dulu.. aku tidak usah terbang ke awan
bodohnya, aku tak sadari mimpi yang paling indah itu memang hanya.. mimpi

kamu; pada ucap yang keberapakah, hatiku menguat lagi?

Saturday, February 20, 2016

surat terakhir untuk yang disana

Halo! Lama sekali kita tidak bertemu, pun mengucap salam, atau sekedar berpapasan. Sepertinya memang jalan kita tidak bersinggungan. Tidak ada kabar terdengar, apa kau baik-baik saja, atau banyak masalah menghampirimu, aku tak tahu. Sudah lama aku menahan diri untuk menulis hal-hal tentangmu, dan aku berhasil. Hari ini, malam ini, adalah yang paling terakhir keluar dari jemari tanganku.
Aku sangat ingin bercerita pada mereka, mengulang kita, dari awal hingga bagaimanapun akhirnya.

Ʌ
Dari awal aku memang mengincarmu, entah kenapa aku tertarik padamu. Dan, kesalahanku adalah terburu-buru ‘memaksa’-mu supaya bersamaku. Aku masih sangat bodoh saat itu. Seiring berjalannya waktu, aku meyakinkan bahwa ‘kita’ bisa, ‘kita’ pasti berhasil. Dulu aku sangatlah naif, karena aku tidak melihat, saat kau bisa berpaling pada sahabatku sendiri, teman yang memintamu untuk bersamaku. I was all broken at that time.
Aku menurutimu, apapun maumu, kau memintaku agar ‘kita’ tak seorangpun yang tahu. Dan bodohnya aku buta hingga tak bisa melihatmu berpaling lagi dengan yang lain. How stupid was that. Aku kecewa, aku marah, aku sedih, aku ingin kau melihat apa yang sebenarnya kau lakukan; membunuhku perlahan.
Aku menaruh semua harapanku padamu. Kamu pergi. Harapanku hilang.. luka-lukaku menganga lebar-lebar, berontak. Aku dulu beranggapan bahwa aku tak pernah cukup. Aku menyalahkan semua diriku dan merasa bahwa aku memang pantas disalahkan.
Membuatku berantakan. Menghancurkan. Melukai. Ntah apa namanya lagi, semuanya masih betah melekat di badan. Di hati. Di penjuru ruangan. Di sudut kamar. Semua masih ada. Dia betah mengekalkan penyesalan diatas dosa.
Kita—bagaimanapun disebut, selalu ada kemudian hilang, datang lalu pergi lagi. Pergi kemudian kembali. Selalu karena kebodohanku.

Tapi suatu hari, di bulan Oktober.
Luka menjamur bersarang di kepalaku, saat ratusan tajam menusuk kepalaku. Ingin pecah rasanya. Semua berbalik kepadaku. Aku paham dan mengerti lebih dari apapun karena memang ini tak bisa lagi. Semua harus berakhir.
Aku berusaha mengakhiri. Tapi kau masih meminta untuk bertahan.
Dan akhirnya aku bertahan. Sekian hari. Hingga kau yang memutuskan untuk pergi.
Dan aku berpikir, ternyata memang hidup semengejutkan ini.
Kau akhirnya menyerah, setelah selama ini aku tidak menyerah merengkuhmu.
Memang bodoh, sungguh bodoh, aku tak pernah menyadarinya. Kita tak bisa.
Maafkan aku dengan kebodohanku ini.
Ʌ

Oke, aku sudah meringkasnya dengan sesingkat-singkatnya, mewakili apa yang belum pernah kukeluarkan.

Untuk si 9 November, dimanapun kamu berada.

Menyakitkan karena saat ini aku tidak mengetahui bagaimana kabarmu, betapa lucunya karena dulu hidup kita terjalin begitu erat dan sekarang tali itu tak terikat lagi. Jangan menganggap aku saat ini baik-baik saja dan mudah pergi darimu. Tidak, semua tidak semudah itu. Berapa malam sudah aku habiskan menangis sendirian tanpa ada orang yang tahu hatiku sudah mengering karena sepi.
Oke, aku tak memintamu melakukan apa-apa, aku hanya ingin menulis ini terakhir untukmu.
Sekarang, aku akan membuang surat atau foto apapun denganmu didalamnya. Bukan berarti apapun yang kita miliki dulu tak pernah berharga, tapi cukup hanya aku dan memoriku yang tahu persis bagaimana pentingnya itu. Aku hendak membuang semua kelabu di kamarku.
Baiklah, berbahagialah dengan hidup yang sudah kamu pilih karena semua hanya terjadi satu kali dan belum tentu akan terulang lagi. Buang aku jauh-jauh dari pandangan dan hatimu walaupun itu sulit tapi percayalah, aku juga mengalaminya. Bersenang-senanglah.


Cheers! X

Thursday, July 23, 2015

#21

Tiada kabut musim kemarau yang menyelimuti alis pagimu. 
Juli di rambutmu masih basah, masih menyimpan tetes dan rerumputan yang ditinggalkan hujan. 
Dan setiap kutatap matamu lewat panorama di jendela, aku menemukan lembah nan hijau, puspa warna, kicau prenjak menginjak tuts-tuts piano di pucuk-pucuk cemara, dan luruh gerimis.
Kulihat seikat pelangi tumbuh di bola matamu.
Dan hujan menyembunyikan semua jejak.
Kuberteduh menatapmu memperhatikan bulir hujan menetes ke dalam puisi.
Aku terhanyut bersama kesunyian yang diselundupkan hujan

yang dibiarkan mengambang dalam genangan ilusi.
Dan hujan meninggalkan hening semua denting.

Bening matamu selalu kuingat
ia adalah kolam sajak seluruh kata yang menyembul dalam bahasa hatiku.

(from vanjoss.blogspot.com)

Tuesday, June 16, 2015

#20

Dalam beberapa saat saya merasa ini tidak adil.
Saya juga merasa kesal, tapi ia tidak pernah tahu. Saya juga sering merasa sakit hati. Dikecewakan. Tapi apa dia tahu? Tidak, bahkan dia sendiri tidak tahu, bahkan dia sendiri mengabaikan perasaanku. Itu yang menyakitkanku.. yang membuatku seringkali membuatnya 'marah' karena ia sendiri mengabaikan perasaanku.
Aku bukan robot.. Aku juga manusia.

Thursday, June 4, 2015

#19

Is it you, or is it just me arguing with myself..?
I've feel like, I'm lonelier than before.
I remember that day you were happy talked to me
Now it seems like you're not even want to reply that
I know you're tired
But so do I.
I'm way more tired than you
You don't think that you're the only one that have mood-swing
I have that too
But I do know I'm gonna be your water
For your stoned heart :)
Slowly but sure, dear
I love you way more than everything

Tuesday, June 2, 2015

#18

Perasaan ini membuncah, membuat mataku sembap karena terus-terusan berair. Aku mengingat-ingat memori lama, saat-saat menyenangkan itu. Saat aku masih hafal betul dengan sifat dan kebiasaanmu. Dengan tawa itu. Dengan senyum itu. Dengan hangat tanganmu yang mendekapku. Saat wajahmu belum sekusut engkau hari ini. Saat kita masih berbarengan mendayung di perahu yang sama.. menyenangkan rasanya. Tidak, aku sedih bukan karena saat-saat buruk kita. Aku sedih karena waktu yang menyenangkan itu terenggutkan dari kita masing-masing, karena hal itu takkan terulang lagi, karena segalanya takkan menjadi sama. Segalanya akan berubah.. meski belum kulihat ke arah manakah perubahan itu pergi. Yang aku tahu sekarang, perahu yang muat untuk berdua ini, hanya diriku sendiri yang mengisi.

Tuesday, May 26, 2015

#17

Bisakah dihentikan sejenak?

Dentang arloji itu
Detik menjadi menit
Menit berganti jam
Jam itu berbaris menjadi hari
Hentikan.. aku tak sanggup

Aku hanya ingin
Pulang ke rengkuhanmu